Sejak runtuhnya Sriwijaya, Islam berkembang pesat di Palembang pada abad ke-12, pada pertengahan abad ke-17 Kesultanan Palembang Darussalam mengukuhkan kekuasaannya. Namun, pada tahun 1823, Kesultanan Palembang Darussalam berakhir dengan diasingkannya Sultan Mahmud Badaruddin II ke Ternate dan di bakarnya Keraton Kuto Gawang oleh Belanda. Sejak saat itu, Palembang berada dalam kekuasaan Belanda. Namun, meskipun kesultanan Palembang telah berakhir, nilai-nilai islami dan kebudaayaan yang berkembang pada masa Kesultanan Palembang Darussalam masih dilaksanakan hingga saat ini yang diimplementasikan ke dalam berbagai adat dan tradisi kota Palembang, salah satunya ialah tentang tata cara makan. Adapun tata cara makan adat kota Palembang yakni Bolo Sebatang, Ngobeng, dan Kambangan.

Bolo sebatang merupakan salah satu rangkaian tata cara makan adat Palembang yang telah dilaksanakan pada masa kesultanan Palembang Darussalam. Bolo Sebatang merupakan hidangan pembuka ringan yang berkembang di tengah masyarakat Palembang. Bolo Sebatang biasanya dilaksanakan saat acara-acara besar, seperti: pernikahan, sedekah, hari raya, dan sebagainya. Disebut Bolo Sebatang karena hidangan ini di hidangkan dengan bentuk persegi panjang lurus ibarat satu buah bambu (bolo) yang memanjang. Bolo sebatang dapat dikatan hidangan sarapan di pagi hari sebelum melaksanakan acara selanjutnya.
Adapun kue-kue yang dihidangkan, yakni Roti Rendang, Roti Goreng, Apem, Cucur, Ketan Cengkarut, Gunjing, dan Kamer. Sedangkan, makanannya ialah lontong, sambal Cenge, Dudu Anam dan Laksan. Untuk minumannya sendiri berupa teh campa dan kopi. Menu-menu yang dihidangkan bukan menu makanan berat. Semua hidangan tersebut disusun memanjang. Tamu yang baru hadir maupun pihak keluarga dapat sarapan dengan duduk di samping hidangan Bolo Sebatang. Adapun perlengkapan yang dibutuhkan ialah: Sepera Panjang dua buah, Piring Pinggiran dua lusin, Cangkir Kuping dua lusin, sendok dua lusin, Tekon satu buah dan Piring kue ceper dua lusin.


Menyantap menu sarapan Bolo Sebatang dapat meningkatkan silaturahmi antar keluarga dan antar tamu, karena kegiatan ini dilaksanakan dengan duduk bersama-sama memanjang mengikuti hidangan Bolo Sebatang. Ketika menikmati makanan, bisa sambil bercengkerama dan bercerita, baik tentang kedua mempelai, maupun kehidupan pribadi masing-masing, sehingga suasana terasa lebih hangat dan bersahabat. Tak jarang, obrolan akan berlanjut setelah menyantap hidangan.
Daftar Pustaka
Chandra, B. (2018). Perancangan Buku Pengetahuan Budaya Kuliner Khas di Kota Palembang (Doctoral dissertation, Universitas Multimedia Nusantara).
Team Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang. 2015. Buku Kuliner Masakan Palembang. Palembang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Palembang.
Habiburrahman, H. (2016). Legalitas Kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin III. Medina-Te: Jurnal Studi Islam, 12(1), 87-108. Chandra, R. (2018). Islam Dan Warisan Kesenian Kesultanan Palembang Darussalam. Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam, 18(1), 1-15.